Sunday, July 3, 2016

ASAL USUL HALAL BI HALAL

copas
WA grup, Mintardaningsih

Artikel menjelang lebaran:
*AsalUsul Halal bi Halal*

Penggagas istilah “halal bi halal” adalah, KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya:
Setelah merdeka 1945, di tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Romadhon, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.

Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yg merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.

Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dlm budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Sebetulnya, KGPAA Mangkunegara I, yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, setiap Idul Fitri, menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa-prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Kegiatan yang dilakukan P Sambernyawa tsb belum memakai istilah “Halal bi Halal”, meski esensinya sama.
Istilah “halal bi halal” ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisis

1. *Thalabu halâl bi tharîqin halâl*: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
2. *Halâl “yujza’u” bi halâl* : pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan,  dgn cara saling memaafkan

Sanad Wangsit:
Dari MWC NU Karang Moncol Purbalingga dari KH. Fuad Hasyim (alm) Buntet, Cirebon. Disampaikan pada acara Halal bi Halal di Ponpes Mambaul Ulum Tunjungmuli Purbalingga, yang diselenggarakan oleh Alumni Ponpes Lirboyo, 12 Desember 2002/9 Syawal 1423H